Syekh Abdul Qadir al-Jilani
Sulthanul Auliya Syekh Abdul Qadir Al-Jilani Rahimahullah, (bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir
ibn Abi Shalih Al-Jilani). Lahir di Jilan atau
Kailan tahun 470 H/1077 M kota Baghdad sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata
al Jilani atau al Kailani. Biografi beliau dimuat dalam Kitab الذيل على طبق
الحنابلة Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya
Imam Ibnu Rajab al Hambali.
Kelahiran,
Silsilah dan Nasab
Ada dua riwayat sehubungan dengan
tanggal kelahiran al-Ghauts al_A'zham Syekh Abdul Qodir al-Jilani. Riwayat
pertama yaitu bahwa ia lahir pada 1 Ramadhan
470
H. Riwayat kedua menyatakan Ia lahir pada 2 Ramadhan
470
H. Tampaknya riwayat kedua lebih dipercaya oleh ulama.
Silsilah Syekh Abdul Qodir bersumber dari Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha r.a
,melalui ayahnya sepanjang 14 generasi dan melalui ibunya sepanjang 12 generasi. Syekh Sayyid Abdurrahman Jami rah.a memberikan komentar mengenai asal usul al-Ghauts
al-A'zham r.a sebagi berikut : "Ia adalah seorang Sultan yang agung,
yang dikenal sebagai al-Ghauts al-A'zham. Ia mendapat gelar sayyid dari
silsilah kedua orang tuanya, "Hasani dari
sang ayah dan Husaini dari sang ibu". Silsilah
Keluarganya adalah Sebagai berikut :
Dari Ayahnya (Hasani):
Dari Ibunya (Husaini):
Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair
Fathimah binti Abdullah Sum'i bin Abu Jamal bin Muhammad bin Mahmud bin Abul
'Atha Abdullah bin Kamaluddin Isa bin Abu Ala'uddin bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal 'Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW.
Silsilah Nabi Muhammad SAW :
Masa
Muda
Dalam usia 8 tahun ia sudah
meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di
Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali,
yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil,
Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimi.
Beliau menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul
dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah
kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu
sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jilani. Ia mengelola sekolah ini dengan
sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasihat kepada orang-orang
di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar
nasihat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang
menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Masa
Muda
Dalam usia 8 tahun ia sudah
meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di
Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali,
yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil,
Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimi.
Beliau menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul
dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah
kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu
sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jilani. Ia mengelola sekolah ini dengan
sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasihat kepada orang-orang
di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar
nasihat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang
menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Murid-Murid
Murid-murid beliau banyak yang
menjadi ulama terkenal, seperti al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul
Ahkam Fi Kalami Khairil Anam, Syeikh Qudamah,
penyusun kitab fiqh terkenal al Mughni.
Perkataan
Ulama tentang Beliau
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal
bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul
Qadir al Jilani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin Nubala
XX/442).
Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya
tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, ”Kami sempat berjumpa dengan beliau di
akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian
terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk
menyalakan lampu
buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam salat fardhu.”
Tentang
Karamahnya
Syeikh Abdul Qadir al Jilani adalah
seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud.
Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al
Muqri’ Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu
Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan
keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jilani dalam tiga jilid kitab. Al
Muqri' lahir di Kairo tahun 640
H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jilani. Dia telah menulis
perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).
"Cukuplah seorang itu berdusta,
jika dia menceritakan yang dia dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab.
"Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk
berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan
apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal
dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang
yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan,
dakwaan-dakwaan
dan perkataan yang batil tidak
berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang
telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan
kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah."
Kemudian didapatkan pula bahwa al
Kamal Ja’far al Adfwi (nama lengkapnya Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali
bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab
Syafi’i. Ia
dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685
H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di
dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal
menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang
diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil
Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as
Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).
Karya
Imam Ibnu Rajab juga berkata,
”Syeikh Abdul Qadir al-Jilani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam
masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat
yang sesuai dengan sunnah."
Karya karyanya :
1.
al Ghunyah
Li Thalibi Thariqil Haq,
2.
Futuhul
Ghaib.
3.
Al-Fath
ar-Rabbani
4.
Jala'
al-Khawathir
5.
Sirr
al-Asrar
6.
Malfuzhat
7.
Khamsata
"Asyara Maktuban
Murid-muridnya mengumpulkan ihwal
yang berkaitan dengan nasihat dari majelis-majelis beliau. Dalam
masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia
membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.
Ajaran-ajaranya
Sam’ani berkata, ” Syeikh Abdul
Qadir Al Jilani adalah penduduk kota Jilan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali.
Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.” Imam Adz Dzahabi
menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jilani dalam Siyar A’lamin Nubala,
dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang
masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”
Imam Adz Dzahabi menukilkan
perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh
sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib.
Kemudian mengakhiri perkataan, ”Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan
yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya
dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun
sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ).
Imam Adz Dzahabi juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyayikh yang
riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar
bahkan ada yang mustahil terjadi“.
Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam
kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, ” Aku telah mendapatkan aqidahnya ( Syeikh
Abdul Qadir Al Jilani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab
Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Ia
menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas
manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah,
Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.” (At Tashawwuf
Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin
Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8
April 1995 M.).
Awal
Kemasyhuran
Al-Jaba’i berkata bahwa Syeikh Abdul
Qadir pernah berkata kepadanya, “Tidur dan bangunku sudah diatur”. Pada suatu
saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya
sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku
tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang
mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan
kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab
Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan
dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari
dengan membawa lilin
dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku dibawa ke
luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun,
orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai
dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali
radhiallahu 'anhum]].
Kemudian, Syeikh Abdul Qadir melanjutkan,
“Aku melihat Rasulullah SAW sebelum dzuhur, beliau
berkata kepadaku, "anakku, mengapa engkau tidak berbicara?". Aku
menjawab, "Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini berbicara di depan
orang-orang fasih dari Baghdad?". Ia berkata, "buka mulutmu".
Lalu, beliau meniup 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata, ”bicaralah dan
ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan
peringatan yang baik”. Setelah itu, aku salat dzuhur dan duduk serta mendapati
jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku gemetar. Kemudian
aku melihat Ali
r.a. datang dan berkata, "buka mulutmu". Ia lalu meniup 6 kali ke
dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak meniup 7
kali seperti yang dilakukan Rasulallah SAW, beliau menjawab bahwa beliau
melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada Rasulallah SAW. Kemudian, aku
berkata, "Pikiran, sang penyelam yang mencari mutiara
ma’rifah dengan menyelami laut hati, mencampakkannya ke pantai dada , dilelang
oleh lidah sang calo, kemudian dibeli dengan permata ketaatan dalam rumah yang
diizinkan Allah untuk diangkat”. Ia kemudian menyitir, "Dan untuk wanita
seperti Laila, seorang pria dapat membunuh dirinya dan menjadikan maut dan
siksaan sebagai sesuatu yang manis."
Dalam beberapa manuskrip didapatkan
bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Sebuah suara berkata kepadaku saat aku
berada di pengasingan diri, "kembali ke Baghdad dan ceramahilah
orang-orang". Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam
kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti
mereka". "Sesungguhnya" kata suara tersebut, "Mereka akan
mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu". "Apa hubungan mereka
dengan keselamatan agamaku/keyakinanku" tanyaku. "Kembali (ke Baghdad)
dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu" jawab suara itu.
Aku pun membuat 70 perjanjian dengan
Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada
seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu,
aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.
Beberapa
Kejadian Penting
Suatu ketika, saat aku berceramah
aku melihat sebuah cahaya terang benderang mendatangi aku. "Apa ini dan ada
apa?" tanyaku. "Rasulallah
SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat" jawab sebuah suara. Sinar tersebut
semakin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual yang
membuatku setengah sadar. Lalu,
aku melihat Rasulallah SAW di depan mimbar,
mengambang di udara
dan memanggilku, "Wahai Abdul Qadir". Begitu gembiranya aku dengan
kedatangan Rasulullah SAW, aku melangkah naik ke udara menghampirinya. Ia
meniup ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang dan meniup ke dalam mulutku
3 kali. "Mengapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan Rasulallah
SAW?" tanyaku kepadanya. "Sebagai rasa hormatku kepada Rasalullah
SAW" jawab beliau.
Rasulallah SAW kemudian memakaikan
jubah kehormatan kepadaku. "apa ini?" tanyaku. "Ini" jawab
Rasulallah, "adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang
yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian". Setelah itu,
aku pun tercerahkan dan mulai berceramah.
Saat Nabi Khidir As.
Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali sebelumku,
Allah membukakan rahasianya dan apa yang akan dikatakannya kepadaku. Aku
berkata kepadanya, ”Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku, "Engkau
tidak akan sabar kepadaku", aku akan berkata kepadamu, "Engkau tidak
akan sabar kepadaku". "Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel
sedangkan aku termasuk golongan Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau
seperti sebuah bola dan lapangan, yang ini Muhammad
dan yang ini ar Rahman, ini kuda berpelana, busur terentang
dan pedang
terhunus.”
Al-Khattab pelayan Syeikh Abdul
Qadir meriwayatkan bahwa suatu hari ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba
beliau berjalan naik ke udara dan berkata, “Hai orang Israel, dengarkan apa
yang dikatakan oleh kaum Muhammad” lalu kembali ke tempatnya. Saat ditanya
mengenai hal tersebut beliau menjawab, ”Tadi Abu Abbas Al-Khidir As lewat dan
aku pun berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti”.
Hubungan
Guru dan Murid
Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Seorang
Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah
daging dalam dirinya.
1.
Dua karakter dari Allah yaitu dia
menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
2.
Dua karakter dari Rasulullah SAW
yaitu penyayang dan lembut.
3.
Dua karakter dari Abu Bakar
yaitu jujur dan dapat dipercaya.
4.
Dua karakter dari Umar yaitu
amar ma’ruf nahi munkar.
5.
Dua karakter dari Utsman
yaitu dermawan dan bangun (tahajjud)
pada waktu orang lain sedang tidur.
6.
Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan
pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan
di atas dalam bait syair yang
dinisbatkan kepadanya dikatakan:
Bila lima perkara tidak terdapat
dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang
mengajak kepada kesesatan.
Dia harus sangat mengetahui
hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari
sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin,
mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.
Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan
bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita
untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis
dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.
Ali ra. bertanya kepada Rasulallah
SAW, "Wahai Rasulullah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada
Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di
sisi-Nya. Rasulallah berkata, "Ali, hendaknya jangan putus berzikir
(mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya)".
Kemudian, Ali ra. kembali berkata, "Hanya demikiankah fadhilah zikir,
sedangkan semua orang berzikir". Rasulullah berkata, "Tidak hanya itu
wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang
yang mengucapkan 'Allah', 'Allah'. "Bagaimana aku berzikir?" tanya
Ali. Rasulallah bersabda, "Dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan
mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau
mengulanginya sebanyak tiga kali pula". Lalu, Rasulallah berkata, “Laa
Ilaaha Illallah” sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras.
Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti yang Rasulullah
lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah. Semoga Allah
memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.
Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Kalimat
tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir
bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya
saat menghadapi sakaratul maut”.
Karena itulah Syeikh Abdul Qadir
selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan
diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).
Pada tahun 521 H/1127 M, dia
mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal
masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya
sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar
dunia Islam.
Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521
H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah
itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M),
diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh
Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad
pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh Abdul Qadir juga dikenal
sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat
terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.
Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib,
pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M.